GARDA | SIBERUT – Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tipe D Pratama yang berlokasi di Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, terus menjadi sorotan tajam publik.
Proyek yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ini bukan hanya menyimpan segudang pertanyaan, namun juga dugaan pelanggaran serius yang dapat mengarah pada praktik penyimpangan anggaran dan kelalaian struktural.
Dari pantauan lapangan dan penelusuran dokumen, terungkap bahwa rumah sakit tersebut dibangun di lokasi yang masuk ke dalam kawasan konservasi hutan mangrove dan zona rawan longsor.
Proses perencanaan pembangunan dinilai jauh dari kata matang, bahkan menurut informasi yang dihimpun, pembangunan dilakukan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi prasyarat utama dalam proyek infrastruktur berskala besar, terlebih di kawasan ekosistem sensitif seperti Maileppet.
“Dari awal kita sudah mempertanyakan kelayakan lokasi. Ini daerah dengan kemiringan tinggi, tanahnya labil, dan kerap mengalami pergeseran tanah saat musim hujan. Ditambah lagi, vegetasi mangrove di sekitar kawasan itu memiliki fungsi ekologis penting yang jelas-jelas diabaikan,” ujar seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Ketiadaan AMDAL ini menjadi sorotan tajam, mengingat wilayah Mentawai merupakan salah satu kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis, terutama banjir, abrasi, dan longsor. Pembangunan rumah sakit di zona tersebut dikhawatirkan tidak hanya membahayakan keselamatan bangunan dan penghuninya, tetapi juga menimbulkan kerusakan permanen pada ekosistem mangrove dan hilangnya benteng alami terhadap bencana.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Desti Seminora saat dikonfirmasi oleh media ini beberapa waktu lalu sempat menyampaikan bahwa RSUD Pratama Maileppet akan mulai beroperasi pada awal Mei 2025.
Namun, hingga akhir Juni, bangunan fisik rumah sakit memang telah berdiri, namun fasilitas dasar seperti pasokan listrik, air bersih, dan sarana pendukung lainnya belum sepenuhnya tersedia.
“Bagaimana bisa melayani masyarakat kalau listrik dan air saja belum tersedia? Ini belum bicara soal SDM. Tenaga medis belum ada. Alat kesehatan juga belum lengkap. Secara kasat mata, bangunan itu belum siap difungsikan sebagai fasilitas layanan kesehatan,” tegas Ketua BPI KPNPA RI Kepulauan Mentawai, Tuhowoloo Telaumbanua (Delau), dalam keterangannya kepada wartawan.
Menurut Delau, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung ke lokasi dan menemukan bahwa rumah sakit tersebut belum layak dioperasikan. Ia juga menyoroti kemungkinan adanya pemborosan anggaran dan indikasi pelanggaran administrasi yang perlu diusut lebih jauh oleh aparat penegak hukum.
“Kalau hanya untuk bangunan kosong tanpa sarana penunjang dan lokasi yang tidak aman, ini bukan hanya kelalaian, tapi bisa masuk dalam kategori pemborosan anggaran negara. Harus ada evaluasi dan audit menyeluruh terhadap proyek ini,” tambah Delau.
Menurut beberapa aktivis lokal, perencanaan proyek ini cenderung tergesa-gesa dan tidak melibatkan kajian komprehensif. Masyarakat sekitar pun mengaku tidak pernah diajak berdiskusi terkait pembangunan tersebut. “Tiba-tiba alat berat datang, lalu dibangun rumah sakit. Kami kaget, karena memang lokasi itu mudah longsor,” kata Agus (45), warga Maileppet.
Tuntutan Transparansi dan Audit Menyeluruh
Kasus pembangunan RSUD Pratama Maileppet menjadi gambaran buram tata kelola proyek pemerintah daerah yang minim pengawasan dan perencanaan. Saat kebutuhan layanan kesehatan di Mentawai sangat mendesak, publik justru dihadapkan pada proyek mangkrak yang dibungkus janji palsu.
LSM dan masyarakat sipil mendesak BPK dan KPK dan Kejati Sumbar untuk turun langsung mengaudit proyek tersebut. Mereka juga menuntut keterbukaan dari pemerintah daerah mengenai dokumen perencanaan, kontrak kerja, hingga pihak rekanan pelaksana proyek pembangunan RSUD Pratama. (*)